Wednesday, December 13, 2006

Belajar dari penyehatan BUMN China (bukan liberalisasi..)

Kompas 13 des 2006

China adalah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yaitu sekitar 9%-10% setiap tahunnya, setidaknya dalam lima tahun terakhir. Di balik tingginya laju ekonomi tersebut, ternyata peran BUMN China cukup dominan.

Jurnal Far Eastern Economic Review (FEER) terbitan Oktober 2006 lalu menurunkan artikel Hofman dan Kuijs, ekonom Bank Dunia di Beijing. Dalam tulisannya, Hofman dan Kuijs menyatakan bahwa BUMN China berperan signifikan dalam perekonomian, khususnya BUMN yang bergerak di sektor padat modal seperti industri berat.

State-owned Assets Supervision and Administration Commission (SASAC) melaporkan bahwa dalam tujuh bulan pertama tahun ini, laba BUMN China mencapai 497 miliar yuan (US$63 miliar), naik 15,2% dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan data Depkeu China, laba dari seluruh BUMN pada 2005 mencapai 905 miliar yuan (US$114 miliar), meningkat 25% dari 2004.

Sedangkan berdasarkan survei dari National Bureau of Statistics (BPS-nya China) menunjukkan kontribusi BUMN yang rugi menurun, dari sekitar 40% lebih pada 1998 menjadi kurang dari 35% pada 2004, dengan angka kerugian dari 115 miliar yuan (US$15 miliar) pada 1998 menjadi 66 miliar yuan (US$8 miliar) pada 2004.

Laba dari BUMN penghasil laba juga meningkat, yaitu dari 52 miliar yuan (US$6,6 miliar) pada 1998 menjadi 531 miliar yuan (US$67 miliar) pada 2004. Depkeu China juga mencatat bahwa subsidi untuk BUMN rugi juga terus mengalami penurunan dan sekarang tinggal 20 miliar yuan (US$2,5 miliar), atau hanya 2% dari total keuntungan laba BUMN. Itu bukti bahwa restrukturisasi membawa hasil positif bagi BUMN di negara itu.

Sedang gencar
China memang sedang gencar melakukan restrukturisasi atas BUMN-nya. Pada 2002, sekitar 86% dari sekitar 87.000 BUMN yang telah direstrukturisasi, 70%-nya diprivatisasi, baik parsial maupun secara penuh, 10% dilikuidasi, dan 20% dilakukan merger/konsolidasi dengan BUMN lainnya.

Akibatnya, BUMN pun melakukan pemangkasan tenaga kerja (layoff). Pada periode 1998-2005, sekitar 35 juta pekerja BUMN kehilangan pekerjaan. Tetapi, restrukturisasi BUMN ini menghasilkan peningkatan kinerja.

Terdapat beberapa kasus yang menarik dari proses restrukturisasi BUMN di China sehingga bisa sukses. Pertama, Pemerintah China memiliki komitmen kuat terhadap BUMN-nya. China adalah negara dengan sistem politik komunis. Namun, China ternyata bisa memisahkan antara urusan politik dan ekonomi.

Untuk mencegah intervensi politik ke BUMN, pemerintah membentuk SASAC yang independen (semacam Temasek) pada Maret 2003. SASAC inilah yang mengendalikan sekitar 127.000 BUMN (posisi 2005). Uniknya, ia diberi mandat mengelola portofolio BUMN tanpa terikat harus menyetorkan dana hasil dividen ataupun privatisasi kepada pemerintah. SASAC memiliki keleluasaan atas penggunaan dana hasil dividen ataupun privatisasi.

Baru belakangan ini, pemerintah meminta SASAC menyetorkan dividen. Pemerintah meminta SASAC agar pada 2007 menyetor dividen untuk membiayai kebutuhan publik dan pengembangan industri serta diarahkan untuk membatasi investasi BUMN yang dinilai overinvestment.

Kontribusi BUMN terhadap perekonomian nasional China sangatlah besar. Pemerintah China merasa perlu mengurangi laju ekspansi investasi BUMN China untuk mendinginkan suhu ekonomi yang overheating, karena tumbuh rata-rata 10% per tahun dengan cara menarik dividen (The Wall Street Journal edisi Asia, 18 September 2006).
Pertahankan yang besar
Kedua, pemerintah China menggunakan doktrin grasp the large and let go of the small (zhua da fang xiao) dalam pengembangan BUMN-nya. Artinya, pemerintah China akan mempertahankan BUMN besar dan akan melepas BUMN kecil.

Kebijakan yang diambil terhadap BUMN besar, seperti Shanghai Baosteel Group Corp. (perusahaan baja terbesar di China) dan China Petroleum & Chemical Corp. atau Sinopec (perusahaan minyak terbesar di Asia) adalah mempertahankan kepemilikan mayoritas pemerintah. Kemudian, atas BUMN ini dilakukan berbagai upaya korporatisasi dan privatisasi secara parsial untuk masuknya investor baru.

Sementara itu, bagi BUMN kecil dilakukan upaya pelepasan atas mayoritas saham pemerintah kepada publik melalui initial public offering (IPO). Tidak mengherankan bila dalam satu dekade ini, jumlah perusahaan yang listing di bursa efek China meningkat drastis.

Meski gelombang privatisasi di China meningkat, sesungguhnya kepemilikan swasta pada perusahaan yang listing di bursa tidaklah besar. Sebuah studi (2002) menunjukkan hanya 11% dari perusahaan China yang listed yang dikuasai oleh swasta. Untuk perusahaan yang telah listed tersebut dibentuk holding company guna mengelola portofolio kepemilikan saham tersebut.

Ketiga, perlu dipahami bahwa proses restrukturisasi dan privatisasi BUMN di China bukanlah tidak mengalami persoalan. Perlu dipahami bahwa tidak semua BUMN besar China telah dikelola dengan tingkat efisiensi dan profitabilitas tinggi.

Perusahaan baru
Menarik apa yang dilakukan China, atas BUMN yang bermasalah tersebut ditempuh upaya di mana BUMN tersebut mendirikan perusahaan baru yang merupakan kombinasi antara swasta dengan BUMN. Dari perusahaan baru ini, BUMN mendapat dividen dan menjadi pendapatan BUMN untuk membiayai pesangon karyawan yang akan di-layoff.

Mungkin pengalaman dalam merestrukturisasi BUMN-nya bukanlah contoh yang ideal bagi Indonesia. Namun, dari pengalaman China ini kita menyadari bahwa sesungguhnya sukses tidaknya masa depan BUMN, sangat tergantung dari kemauan politik semua pihak, termasuk parlemen.

Kedua, ke depan model pengelolaan BUMN di bawah sebuah kementerian yang tidak independen (dalam arti menjadi bagian pemerintah) seperti yang berlaku saat ini, perlu ditinjau ulang. Sudah saatnya induk bagi pengelolaan BUMN dilepaskan dari institusi pemerintah dan menjadi super holding company yang independen.

Penulis berpendapat bahwa solusi privatisasi dengan melepas mayoritas kepemilikan pemerintah di BUMN kepada investor strategis (terutama asing) adalah pilihan yang menunjukkan kita kalah. Oleh karenanya, restrukturisasi korporasi BUMN plus privatisasi parsial yang diimbangi dengan kemauan politik kuat merupakan jawaban bahwa kita adalah bangsa yang kuat dan terbuka, baik secara ekonomi dan politik.

Oleh Sunarsip Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI

Tuesday, December 12, 2006


dapat wahyu..

personeel


panji...........

dish agust o6

tertawa lepas...


omahe rian.muktamar 06 (kepilihnya jal)

nggambar

pak bos ..yang mo tau lbh jauh langsung ke http://danisetia.multiply.com

Selamat Datang, Pasar Bebas

Oleh Ario Djatmiko
Jawapos Selasa, 12 Des 2006


Siapa yang menanam dia yang menuai, reciprocity.
Confusius

Demokrasi itu ada di pasar dan hak asasi manusia (HAM) sepenuhnya juga ada di pasar. Joke, apakah lantas kita bisa membeli hak asasi di pasar? Bukan begitu maksud Adam Smith! Di pasarlah proses demokrasi sepenuhnya berjalan dan hak asasi terjunjung. Memilih dan membelanjakan uangnya sendiri adalah hak setiap manusia. Smith percaya, kebebasan membeli akan menggiring kita ke arah mutually benefit reciprocity.

Mekanisme Pasar

Pembeli datang ke pasar membawa keinginan, kebutuhan, nafsu, dan terpenting value-nya sendiri. Penjual ke pasar membawa produk dengan harapan produknya cocok dengan value pembeli dan transaksi pun terjadi. Tidak ada paksaan dan kedua belah pihak puas. Apakah ada moral di sana? Di sini, pepatah, "Every dog gets one bite" bermakna dalam. Trust adalah dasar utama setiap jual-beli. Siapa yang melukai kepercayaan pasti terpental. Di sinilah invisible hand itu bekerja.

Adam Smith yakin bila pasar dibiarkan bebas bekerja, keinginan akan tercapai, kepuasan manusia terus berlanjut, every body happy. Adakah sisi lain dari mekanisme pasar? Ramalan Friedman benar, dunia tidak lagi di bawah superpower, tetapi supermarket. Lantas, benarkah every body happy?

Jelas, pasar hanya diperuntukkan yang mampu membeli dan mampu menjual. Yang tidak mampu membawa produk yang sesuai dengan selera dan harga pembeli akan tersingkir, mati. Bukan salah pasar, salahnya sendiri tidak becus berjualan. Korban pun berjatuhan! Prinsip, ada uang, ada barang! Pasar bukan untuk orang yang tidak beruang. Pasar tidak mengurusi perasaan kasihan. Pengemis adalah kotoran yang paling kotor untuk kegiatan pasar.

Jelas, di sini perspektif moral berbeda. Social Darwinisme yang diusung Spencer merupakan basis bekerjanya mekanisme pasar. Competition was natural law and the basis for natural selection. For human society that only the fittest individuals would survive. Manusia hanyalah perpanjangan evolusi dari binatang dan hukum rimba tak akan pernah berubah. Di sini pasar adalah killing field, yang kuat membunuh yang lemah, itu pasti.

Tampaknya, Adam Smith tidak membayangkan, pasar akan melebar seperti ini. Benarkah, prinsip Confusius, reciprocity tetap dapat memberi jawaban di saat jarak dan waktu sudah tidak ada lagi di bumi ini?

Peradaban Tertinggal

Pernahkah dulu kita berpikir bahwa memesan tiket dan memilih seat pesawat hanya dengan klik dari rumah? Semua sudah berubah! Teknologi melompat tak terbayangkan dan kita tidak tahu lagi apa yang terjadi esok. Nilai-nilai, cara pandang, cara merasakan, cara bekerja, dan semuanya telah berubah (Thomas L. Friedman, The World is Flat).

Teori Chaos benar, pasar adalah sistem hidup yang tidak pernah berhenti bergerak mencari bentuk baru. Ekonomi baru telah hadir. Ekonomi informasi membawa perubahan mendasar pada sistem produksi pertanian, perindustrian, dan jasa. Dibutuhkan manusia pekerja yang sama sekali berbeda. Jaringan antarperusahaan global merambah ke segala bidang dan jauh ke perifer, bak hantu membunuh peluang manusia untuk usaha dan kerja. Outsourcing, franchise, dan hybrid lonceng kematian untuk si kecil apa lagi pencari kerja. Munculnya industri robot, bencana besar untuk pekerja otot.

Downsizing dan efisiensi adalah istilah teramat keji. Dan, bangkai-bangkai globalisasi akan terus berjatuhan! Suara Confusius, reciprocity yang terjadi di perifer tak terdengar lagi di telinga pemilik saham. Alvin Toffler benar, peradaban baru telah lahir. Sungguh layak kita renungkan. Kualifikasi manusia pekerja macam apakah yang akan survive?

Apakah modal global dan perusahaan supertangguh global akan datang membawa manusia global yang perkasa? Yang pasti, dibutuhkah manusia sangat unggul! Knowledge base worker di mana nilai kreativitas diletakkan di tempat yang paling mulia. Lantas, bagaimanakah nasib rakyat negeri ini?

61 Tahun Sia-Sia

Tampaknya benar, di awal kemerdekaan Syahrir telah mengingatkan sifat asli bangsa ini. Indolent, menghamba-feodalist ik-paternalistik dan munafik. Pahit memang, berat untuk menerimanya. Tetapi, ada sisi baiknya, bangsa ini sebenarnya penurut, bukan pemberontak, dan selalu patuh pada pemimpin. Sangat mudah dimobilisasi!

Lantas, siapa pemimpinnya? China menggetarkan dunia! Dekrit Deng Xiaoping, the "863 Programs" membuat semua unsur China terpadu. Modal USD 625 juta mengubah China menjadi kekuatan High Tech yang dahsyat. Deng mampu melihat the big picture jauh ke depan. Jelas, Deng, Lee Kuan Yew, Mahathir tahu benar arti tanggung jawab, arti berbangsa, dan paham benar untuk apa kekuasaan dibebankan di pundaknya.

Merekalah yang membuat desain futuristik yang menyelamatkan bangsanya, bahkan jadi pemenang. Mereka tahu betul apa yang harus dilakukan dan kapan harus bertindak. Antisipasif, membangun Human Capital & Law Enforcement, sepenuhnya membantu perusahaan nasional yang sehat agar mampu bersaing dan membasmi parasit bangsa.

Lantas, apa saja yang telah dilakukan pemimpin bangsa ini? Stephen Young, Crony capitalist is not a capitalist, tapi hal paling terkutuk dari sistem kapitalis. Negara hancur, penjahat ekonomi semakin berkibar di luar, para elite makmur, dan rakyat membusuk. 61 tahun yang sia-sia, opportunity lost dan momentum hilang. Amat jelas, hari demi hari para pemimpin negeri ini meninggalkan jejak-jejak kehancuran.

AFTA telah disepakati! Di saat jarak kekuatan modal, teknologi, kompetensi yang begitu besar, social capital dan reputation capital lebur, pemerintah menerima pasar bebas. Artinya, lalu lintas uang, barang, jasa, dan tenaga terampil asing hadir di negeri ini tanpa batas. Pembantaian telah disepakati!

Manusia global yang perkasa hadir dan tak lama bangkai-bangkai manusia lokal berserakan di Bumi Pertiwi. Di saat mengerikan ini, apa yang dikerjakan pemimpin kita? Ngurusin Aa' Gym dan Yahya Zaini! Eh, pernah denger kisah nyata si-raja tega, suvenir kembang kertas dari uang beneran?


Ario Djatmiko, staf pengajar pada Universitas Airlangga Surabaya

Monday, December 11, 2006

Pertumbuhan Gagal Serap Naker

Koran sindo Selasa, 12/12/2006

JAKARTA (SINDO) – Pertumbuhan ekonomi dinilai gagal menyerap tenaga kerja (naker) secara signifikan. Sebab, selama ini pertumbuhan lebih ditopang sektor-sektor padat modal (capital intensive) dibandingkan sektor padat karya.

Ekonom senior Kwik Kian Gie menuturkan, pada kuartal I 2006, setiap 1% pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) hanya mampu menyerap naker 48.700 orang. "Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tidak bisa memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan. Pemerintah harus segera menanganinya, " ujar dia kepada SINDO di Jakarta, kemarin.

Dia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi hanya terjadi pada sektor-sektor padat modal sehingga selama ini pertumbuhan hanya dinikmati segelintir orang. Bahkan, menurut dia, pertumbuhan itu lebih banyak dinikmati pemodal asing. "Pertumbuhan PDB banyak disumbang sektor pertambangan. Padahal, sektor itu dikuasai oleh asing," terang Kwik.

Di tempat terpisah, Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzzeta mengakui bahwa angka pengangguran belum turun signifikan. Menurut dia, asumsi pengangguran dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004–2009 sampai saat ini belum tercapai. "Angka pengangguran sekarang masih tinggi. Padahal, di dalam asumsi RPJM, harusnya sudah turun," ujar dia.

Meski demikian, lanjut Paskah, pemerintah tidak akan mengubah target angka pengangguran dalam RPJM. Sebab, target itu merupakan janji pemerintah untuk direalisasi pada 2009. "Kita tidak akan ubah angka asumsi karena itu merupakan janji kita," ujar dia. Pemerintah, lanjut dia, akan memperbaiki strategi untuk menekan angka pengangguran.

Saat ini, Bappenas melakukan sistematisasi program dengan memprioritaskan tiga sektor, yakni pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur pedesaan. "Kita sudah edarkan ke semua kementerian dan lembaga tentang upaya ini," ungkap dia. Seperti diberitakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2006 mencapai 10,93 juta orang atau 10,28% dari jumlah angkatan kerja 106,39 juta orang.

Angka ini hanya turun 170 ribu orang dibandingkan data pengangguran terbuka pada Februari 2006, yakni 11,10 juta. BPS mencatat masih tingginya jumlah pengangguran diakibatkan musim kemarau panjang. Hal tersebut menyebabkan kegiatan pertanian yang mengandalkan hujan (tadah hujan) tidak bisa berlangsung. Akibatnya, banyak buruh tani yang tidak mampu bekerja.

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian berkurang 2,18 juta orang dari 42,32 juta pada Februari 2006 menjadi 40,14 juta pada Agustus. Namun, di sisi lain, ada penambahan jumlah penduduk yang bekerja pada sektor lain. Sektor jasa bertambah 790 ribu orang, sektor perdagangan tambah 650 ribu orang, konstruksi 330 ribu orang. Kemudian, jumlah penduduk yang bekerja di sektor industri bertambah 310 ribu orang.

Sistem Ketenagakerjaan

Di sisi lain, Menakertrans Erman Suparno mengatakan, Indonesia segera mengadopsi sistem asuransi dalam memberikan jaminan sosial bagi pekerja. Itu akan mencakup asuransi kecelakaan, PHK, pensiun, kematian, dan asuransi kehamilan." Ini yang perlu kita pikirkan untuk kita adopsi. Pada dasarnya sistem jaminan sosial bagi buruh itu adalah kepastian bayar.

Bagi pengusaha, sistem asuransi bisa menjadi bagian fix cost investment analysis-nya, " kata dia dalam jumpa pers usai pertemuan tripartit di Kantor Wapres, Jakarta, kemarin. Pertemuan tripartit ini dipimpin langsung Wapres M Jusuf Kalla. Forum tripartit melaporkan hasil studi banding tentang sistem perburuhan di China dan Hongkong pada 26 November-2 Desember 2006.

Hadir dalam pertemuan ini dari unsur pengusaha yang diwakili Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan dari unsur pekerja. Menurut Menakertrans, sebenarnya sistem itu hampir sama dengan apa yang ada di Indonesia. Hanya saja, di Indonesia berbentuk iuran pasti oleh perusahaan. Dia menyebut program- program itu akan diubah menjadi sistem asuransi. Menakertrans belum memastikan apakah sistem asuransi itu akan memakai satu institusi atau beberapa institusi.

Keputusan itu akan ditentukan hasil pembahasan Kelompok Kerja (Pokja) Tripartit. Dalam pertemuan itu, Wapres memerintahkan forum tripartit segera membentuk pokja. Dalam jangka pendek, pokja bertugas membuat kesepakatan bersama tentang etika buruh. Masalahnya, soal mogok atau demonstrasi tidak boleh anarkistis. "Kedua, ya menentukan masalah sistem asuransi itu tadi," sebut Menakertrans.

Hasil kerja pokja itu, imbuhnya, tidak akan dibawa menjadi bahan revisi UU Ketenagakerjaan. Menurut Menakertrans, hasilnya kemungkinan akan dituangkan dalam bentuk keputusan menteri (kepmen) atau peraturan pemerintah (PP). Ketua Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi Apindo Hasanudin Rahman menyambut baik pembentukan pokja tersebut.

Dalam kaitan ini, pihaknya akan melakukan technical meeting dengan kalangan serikat pekerja untuk membuat arah yang jelas. Menurut Hasanudin, masalah PHK selama ini menjadi momok bagi pekerja dan pengusaha. Bagi pengusaha, PHK menjadi momok karena pengusaha harus mengeluarkan biaya mendadak. "Dengan adanya asuransi PHK, ini lebih ada kepastian," katanya.

Namun, Apindo akan mengkaji secara hati-hati sistem asuransi ini. Hasanudin khawatir ini akan tumpang tindih dengan yang sudah ada. "Jangan sampai yang satu belum selesai, ditambah yang baru," katanya. Sementara itu, Sekjen SPSI Latif mengatakan mendukung sistem asuransi tersebut. "Ini angin segar buat kami dari serikat pekerja. Saya harap pokja benarbenar bekerja untuk menyejahterakan pekerja," katanya. (CR-04/ali ikhwan)

Korporatokrasi

oleh : Hendrawan Supratikno

Konsep korporatokrasi (corporatocracy) sering digunakan untuk menggambarkan keadaan saat pemerintah dalam banyak hal bekerja di bawah tekanan, tunduk kepada, dan sekaligus melayani kepentingan perusahaan swasta besar.

John Perkins mengartikan korporatokrasi sebagai "a system of governance controlled by big corporations, international banks, and government" (2004: xii). Tujuan akhirnya adalah melanggengkan tatanan global yang pro-akumulasi modal.

Gejala meluasnya korporatokrasi di Indonesia terlihat saat dengan mudah kita dimabukkan pujian-pujian konsultan asing tentang prospek Indonesia untuk segera menjadi salah satu "Macan Asia" pada akhir abad ke-20. Kita belakangan sadar, kehebatan ekonomi itu tak lebih gugusan buih yang mudah terempas angin.

Saat krisis mendera, puluhan konsultan asing menghambur masuk. Di bawah bayang-bayang kedigdayaan Dana Moneter Internasional (IMF), kita menggelontorkan ratusan triliun rupiah untuk menyelamatkan perbankan nasional.

Setelah itu, satu per satu perusahaan yang semula menjadi kebanggaan nasional lepas dari tangan kita. Beberapa perusahaan itu dijual obral. Atas nama globalisasi, kita menerima semuanya sebagai hal yang wajar.

Yang terakhir, langkah maju- mundur pemerintah untuk bertindak tegas dalam kasus lumpur Lapindo, yang seolah memberi ruang bagi rekayasa jual-beli antarperusahaan, menunjukkan perusahaan (korporasi) memiliki kekuatan dahsyat.

Bergaya "cowboy"

Pada titik ini, karya David Korten, When Corporations Rule the World (1995), merupakan buku pengingat yang baik. Korten menggunakan istilah "cowboys in a spaceship" guna menggambarkan kerakusan korporat yang mengeksploitasi sumber daya bumi yang terbatas.

Mengutip ahli ekonomi Kenneth Boulding, Korten berharap muncul kekuatan pengimbang untuk mendesak perusahaan berubah dari perilaku gaya cowboy menjadi gaya astronot. Astronot terbiasa hidup dalam kondisi kelangkaan sehingga sumber daya yang terbatas digunakan dengan hati-hati, tidak boros, dan sebisa mungkin selalu didaur ulang.

Namun, dapatkah kerakusan korporat dihentikan? Akademikus Joel Bakan, yang mempelajari perkembangan hukum-hukum korporat, meragukannya. Dalam bukunya, The Corporation (2004), disebutkan korporasi sebagai lembaga psikopat yang selalu haus akan keuntungan dan kekuasaan.

Ketika bentuk badan hukum perseroan terbatas diperkenalkan di Inggris tahun 1856, dengan ciri khas tiap pemilik hanya memiliki tanggung jawab terbatas (limited liability), sejumlah pengkritik mengingatkan, perusahaan seperti itu akan memungkinkan "setiap orang terlibat dalam bisnis dengan risiko kerugian yang kecil, tetapi risiko untung yang tak terbatas".

Pada akhir abad ke-19, berkat lobi di New Jersey dan Delaware, bentuk badan hukum perseroan disahkan untuk bertindak bebas, beridentitas, melakukan bisnis atas nama sendiri, memiliki aset dan pekerja, boleh maju ke sidang pengadilan untuk membela hak dan kepentingannya.

Tidak mengherankan jika setelah itu gelombang merger dan akuisisi melanda AS dan Eropa, serta memunculkan era baru, era corporate capitalism.

Ketika Berle dan Means (1932) menerbitkan penelitiannya, bahwa terjadi pemisahan antara kepemilikan (ownership) dan pengelolaan (control) di berbagai perusahaan besar di AS, kekhawatiran perilaku korporat akan lebih menekankan kepentingan jangka pendek kian tak terelakkan.

Presiden Roosevelt, yang menilai tingkah korporasi sebagai salah satu penyebab depresi, berusaha mengoreksi kebebasan korporasi yang berslogan "democracy limited, corporations unlimited". Upaya itu kurang berhasil karena tokoh-tokoh bisnis berhasil menunjukkan, kesejahteraan karyawan dan masyarakat lebih mungkin dikerjakan korporasi ketimbang negara.

Evolusi korporat pun tak terbendung. Hari ini kita melihat dalam daftar majalah-majalah bisnis, berbagai perusahaan global memamerkan kedigdayaannya di pentas dunia. Hampir tak ada aspek kehidupan kita yang tak tersentuh olehnya.

"Strong government"

Kecenderungan korporasi memperlemah kemampuan pihak luar, termasuk pemerintah, dalam membatasi atau mengontrol kegiatannya, seharusnya terus kita sadari.

Agen-agen korporat melalui lobi-lobi tingkat tinggi, dengan memanfaatkan jaringan media pembentuk opini publik, akan memengaruhi berbagai peraturan, agar hasil akhirnya tetap berpihak pada kepentingan mereka. Fenomena ini oleh George Stigler, pemenang Nobel Ekonomi 1982, disebut regulatory capture.

Tentu saja, dalam iklim politik dan birokrasi publik yang diwarnai biaya mobilitas vertikal yang mahal, pasar-pasar lobi menjadi menjamur. Dalam kondisi demikian, pengusaha merupakan sumber dana politik yang andal, dan tukar-menukar konsesi lumrah terjadi.

Itu sebabnya, tak mengherankan jika Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001, mengamati privatisasi bisa berubah menjadi profitisasi elite atau pyratization (perampokan) . Globalisasi bisa berubah menjadi lisensi untuk merampok. Sampai kapan kita tak berdaya menghadapi semua ini? Bukankah kita pandai berslogan: "bersama kita bisa, bersatu kita mampu"?

Hendrawan Supratikno Direktur Program Pascasarjana IBII, Jakarta

Kompas anti serikat pekerja

KRONOLOGI KASUS PEMBERANGUSAN
(AKTIVIS) SERIKAT PEKERJA KOMPAS

(Penuturan Bambang Wisudo, wartawan dan aktivis Serikat Pekerja yang
dipecat oleh manajemen Kompas)

13 September 2006

Kesepakatan tentang penyelesaian saham karyawan Kompas tercapai,
ditandatangani wakil serikat kerja bernama Perkumpulan Karyawan Kompas
dan
manajemen PT Kompas Media Nusantara. Pihak perkumpulan ditandatangani
Syahnan Rangkuti selaku ketua umum dan perusahaan diwakili St Sularto
selaku
wakil pemimpin umum. Kesepakatan itu sebenarnya merugikan karyawan
karena
karyawan kehilangan 20 persen saham atas PT Kompas Media Nusantara yang
diwariskan oleh Pak Ojong sejak 1980, jauh sebelum ada keputusan Menpen
yang
mewajibkan perusahaan pers memberikan saham kepada karyawannya. Dalam
kesepakatan itu karyawan hanya mendapatkan 20 jaminan alokasi 20 persen
deviden PT KMN dan perubahan itu harus melalui persetujuan karyawan.

Perundingan ini cukup menyakitkan karena pengurus sempat memberikan
kuasa
hukum kepada Tim Advokasi Karyawan Kompas yang akan memperkarakan soal
ini
secara perdata atau pidana. Menjelang kesepakatan itu memang muncul
kekhawatiran bahwa setelah kesepakatan ditandatangani, pengurus serikat
akan
ada balas dendam terhadap pengurus, terutama berikatan persyaratan
bahwa
perundingan dilakukan tanpa melibatkan Pemimpin Redaksi Suryopratomo.
Kekhawatiran itu ternyata terjadi.

15 November 2006

Rapat redaksi Rabu mengumumkan mutai,rotasi, pengalihan tugas di
lingkungan
redaksi. Di situ nama saya sebagai sekretaris Perkumpulan Karyawan
Kompas
diurutkan di bawah Syahnan Rangkuti sebagai ketua Perkumpulan Karyawan
Kompas. Dua-duanya dibuang. Satu pengurus lain dipromosikan menjadi
wakil
kepala biro. Satu lainnya hanya pindah tugas liputan. Tindakan
indiskriminatif ini tampaknya sengaja dilakukan untuk memecah belah
pengurus. Dari sederet nama yang dimutasi, tampak secara substansial
bahwa
sekretaris dan ketua serikat pekerja dibuang.

Rupa-rupanya (belakangan baru diketahui) hari itu juga manajemen
mengeluarkan surat keputusan pembuangan saya ke Ambon. Surat Keputusan
bernomor 269/Penpen/SK/ XI/2006 yang ditandantangani Wakil Pemimpin
Umum
Harian Kompas St Sularto itu menyebutkan terhitung mulai 1 Desember
2006
saya dipindahkan mulai 1 Desember 2006, padahal kepengurusan saya
sebagai
sekretaris serikat pekerja baru berakhir pada 28 Februari 2007.

18 November 2006

Saya mengirimkan surat protes ke Bapak Jakob Oetama selaku Pemimpin
Umum
Kompas tentang pembuangan saya ke Ambon yang mengandung pelanggaran
terhadap
UU Serikat Pekerja/Buruh NO 21/2000 yang menyatakan bahwa karena
aktivitasnya atau pengurus serikat pekerja dengan ancaman pidana denda
100
juta sampai 500 juta atau hukuman penjara maksimal lima tahun penjara.
Dalam
kaitan itu saya juga mengritik cara-cara mutasi yang dilakukan
manajemen
kompas saat ini yang menutup peluang wartawan untuk semakin pandai dan
berkembang menjadi seorang spesialis.

24 November 2006

Pak Jakob membalas surat saya secara pribadi. Surat itu ditulis dalam
kertas
dan amplop warna kuning dan diantar melalui kurir ke rumah saya. Dalam
surat
itu Pak Jakob tampak menghindar dari persoalan. Ia hanya mengatakan
bahwa
telah menerima dan membaca surat itu namun ia tidak terlibat lagi dalam
urusan manajemen Kompas. Saya disarankan membawa persoalan ini kepada
St
Sularto (Wakil Pemimipin Umum) atau Suryopratomo (Wakil Pemimpin Umum).
Padahal Pak Jakob masih menjabat sebagai Pemimpin Umum Kompas.

27 November 2006

Saya dipanggil oleh St Sularto yang didampingi GM-SDM Umum Bambang
Sukartiono dan staf legal SDM Umum Frans Lakaseru. Mas Larto menyatakan
telah mendapat tembusan dari Pak Jakob untuk menyelesaikan kasus saya.
Tidak
ada yang baru dalam pertemuan itu, ia mengatakan bahwa mutasi saya ke
Ambon
merupakan pemindahan tugas biasa. Saya menyatakan tidak bisa dilihat
begitu,
karena wartawan Kompas dengan segera melihat pemindahan saya ke Ambon
sebagai wartawan biasa merupakan bentuk pembuangan. Saya menyatakan
penolakan dan minta surat keputusan pembuangan saya dicabut. Dalam
pertemuan
itu Bambang Sukartiono menyebut penugasan saya ke Ambon dalam rangka
"rehabilitasi" . Ia juga menyebut tidak bisa menghapus keputusan yang
dibuat
begitu saja demi "menyelamatkan muka".

28 November 2006

Saya dipanggil oleh SDM-Umum dalam acara penerimaan SK Mutasi. Saya
sebagai
sekretaris dan Sdr Syahnan Rangkuti sebagai ketua, yang sama-sama
dibuang ke
luar kota jauh dari Jakarta, disertakan dengan mereka yang
dipromosikan. Di
situ kami hanya mendengar penjelasan teknis hak-hak yang menyertai
kepindahan. Dalam kesempatan itu saya menanyakan kepada Bambang
Sukartiono
alasan pembuangan saya ke Ambon namun tidak mendapat penjelasan yang
jelas.
Pertanyaan itu saya ulang, juga tidak dijawab jelas. Saya juga
menanyakan
apa salah saya sehingga saya harus direhabilitasi. Dan kalau SK itu
tidak
bisa dicabut demi menyelamatkan muka, muka siapa sebenarnya yang mau
diselamatkan.

Setelah pertemuan itu, saya berbicara empat mata dengan Sdr. Bambang
Sukartiono. Saya menawarkan jalan ketiga. Pembuangan saya ke Ambon
dibatalkan. Akan tetapi untuk mendinginkan situasi saya menyediakan
diri
untuk dimutasi ke wilayah Jawa Barat selatan selama tiga bulan dalam
kaitan
penguatan profesionalisme saya sebagai jurnalis. Saya ingin
mengembangkan
kemampuan saya dalam depth reporting, setelah itu dikembalikan ke
Jakarta
untuk mengembangkan bidang yang sama dengan pilihan desk humaniora,
politik,
atau investigasi. Saya meminta batas waktu sehari untuk menjawab.
Karena
diminta memberikan surat tertulis, malam itu juga saya memberikan surat
tertulis.

29 November 2006

Rabu sore saya menanyakan kepada Bambang Sukartiono tentang tawaran
saya. Ia
menjawab secara prinsip bisa diterima, teknis mau diputuskan kemudian.
Saya
menanyakan yang diterima apa, apakah termasuk batas waktu penugasan
tiga
bulan. Ia jawab itu tidak dibicarakan karena tidak tercantum dalam
surat
saya. Saya cek memang tidak tercantum dalam surat tetapi secara lisan
telah
saya sampaikan. Karena itu saya membuat surat susulan tertanggal 29
November. Di situ saya tegaskan jangka waktu tiga bulan dan minta agar
surat
pembuangan saya ke Ambon ditinjau kembali.

Permintaan saya sederhana saja, surat keputusan yang pemindahan saya ke
Ambon yang mengarah pada pelanggaran UU Serikat Pekerja/Buruh dicabut
atau
direvisi. Saya memberikan batas waktu keptusan definitive koreksi atas
pemindahan saya selambat-lambatnya Rabu (6/12).

6 Desember 2006

Saya kedatangan aktivis dari berbagai kelompok sejak pukul 16.00 untuk
menanyakan keputusan final menyangkut pembuangan saya ke Ambon. Sekitar
40
aktivis mahasiswa, pers mahasiswa, NGO, guru, dosen, dan aktivis
bantuan
hukum datang. Untuk menunggu batas waktu yang telah saya sampaikan
sebelumnya
kepada manajemen, kami mengadakan diskusi informal tentang pendidikan.
Menjelang pukul 18.00 saya mengelepon General Manajer SDM Umum Bambang
Sukartiono tentang tuntutan saya untuk membatalkan atau merevisi Surat
Keputusan tentang pembuangan saya. Akan tetapi pihak manajemen tidak
bisa
memberikan jawaban definitif dengan alasan belum menerima putusan dari
redaksi.

Penundaan untuk kedua kali keputusan itu saya artikan sebagai penolakan
manajemen untuk merevisi SK yang mengandung unsur pelanggaran terhadap
UU
Serikat Buruh/Pekerja. Oleh karena itu dihadapan para aktivis yang
hadir
saya menyatakan sejak malam itu akan melakukan perlawanan sampai SK
tersebut
dicabut atau direvisi. Saya membagikan tembusan surat yang pernah saya
sampaikan kepada Pak Jakob, karena pada surat ke Pak Jakob sudah saya
cantumkan bahwa surat itu saya tembuskan ke karyawan dan pihak-pihak
terkait. Saya juga menempelkan surat itu di beberapa tempat di lantai
tiga
dan lantai empat. Selama ini tidak ada masalah penempelan pengumumuan
di
tempat-tempat tersebut, baik yang dilakukan oleh Perkumpulan Karyawan
Kompas
ataupun insiator penyelenggara futsal yang diselenggarakan pada saat
genting
perundingan saham antara manajemen dengan pengurus. Inisiator
penyelenggara
futsal itu kini telah dipromosikan menjadi salah satu kepala biro di
daerah.

7 Desember 2006

Pagi-pagi saya memperoleh informasi tembusan surat itu telah dicopoti
oleh
satpam. Siang hari saya membagikan media yang saya tulis sendiri
tentang
berita pemberangusan aktivis serikat pekerja di Kompas dan tembusan
surat
untuk Pak Jakob ke karyawan di lantai tiga, empat, dan lima. Ini adalah
hak
saya sebagai aktivis serikat pekerja untuk memberikan informasi
mengenai apa
yang terjadi dalam serikat pekerja kepada anggotanya. Ini juga hak
setiap
orang untuk membuat dan menyebarluaskan informasi sebagaimana juga
praktek
yang lazim dilakukan seorang wartawan.

Sore hari sekitar pukul 18.00 saya dipanggil oleh Pemimpin Redaksi
Kompas
Suryopratomo yang berdiri di depan televisi di dekat meja sekretariat
redaksi. "Wis, sini Wis," katanya. Saya datang berdiri, percakapan
terjadi
dalam jarak dua meter. Di situ langsung saya ditegur mengapa saya
mengadakan
pertemuan tanpa izin sekretariat redaksi. Saya mengatakan bahwa saya
menerima tamu, mereka datang ingin tahu perkembangan akhir rencana
pembuangan saya ke Ambon. Dalam perdebatan tersebut Sdr. Suryopratomo
mengatakan, "Memang itu ruangan mbahmu". Saya jawab dengan kalimat
serupa,
"Siapa bilang itu ruangan mbahmu". Sebagai seorang karyawan biasa dan
sebagai seorang sekretaris serikat pekerja sepantasnya bila saya diajak
omong baik-baik di dalam ruangan. Kalau kalimat terakhir yang saya
ucapkan
dianggap tidak hormat pada atasan, itu juga merupakan bahasa yang
dipergunakan seorang pemimpin koran terbesar, koran intelektual, dalam
berkomunikasi dengan karyawannya.

8 Desember 2006

Pagi-pagi saya menerima desas-desus bahwa saya telah dipecat dari
Kompas
mulai hari itu. Saya semula tidak percaya, tetapi sore hari saya
menerima
kabar itu langsung dari atasan saya., Wakil Editor Kennedy Nurhan. Saya
kemudian membagikan sisa fotokopi tulisan yang masih ada di tangan
saya.
Pada saat jam pulang, sekitar jam 16.00 WIB, saya turun ke lantai
dasar, di
depan lift saya membagikan fotokopi tulisan tersebut. Menurut saya, ini
hak
orang-orang di lingkungan Kompas dan Gramedia untuk tahu. Peristiwa itu
berlangsung menyenangkan. Orang menerima dengan tertawa-tawa sambil
kami
berfoto-foto. Selebaran itu juga diterima oleh Wakil Redaktur Pelaksana
Kompas Taufik Miharja yang kebetulan lewat. Reaksi spontannya
biasa-biasa
saja.

Kami bahkan sempat berfoto bersama satpam yang berjaga di situ.
Kemudian
seorang satpam perempuan meminta berita yang saya sebarkan. Tidak lama
kemudian datang Wakil Ketua Satpam, Kiraman Sinambela, langsung
"memiting"
bahu saya sebelah kanan dan bilang "Ikut ke pos satpam". Saya menolak
karena
tidak ada urusan dengan satpam. Urusan saya dengan mereka yang
mengeluarkan
keputusan yang tidak adil itu. Namun saya dipaksa, kemudian saya
digotong-gotong. Tangan dan kaki saya dipegang satu-satu, mungkin oleh
empat
orang satpam. Sepanjang perjalanan ke pos satpam saya berteriak-teriak,
"Tolong-tolong, tolong saya dianiaya. Tetapi tidak satu pun orang
menolong
saya meski menyaksikan peristiwa itu. Saya kemudian disekap di pos
satpam.
Saya dengar di luar, seorang pos satpam mengatakan agar tidak seorang
pun
boleh mendekati ruang penyekapan itu. Saya di ruangan sendirian, di
situ
saya dihadapi tiga orang satpam.

Khawatir akan terjadi penganiayaan terhadap diri saya, saya segera
menghubungi beberapa kawan di Kompas, termasuk GM SDM Kompas Bambang
Sukartiono. Saya juga menghubungi rekan-rekan saya diluar melalui
handphone.
Saat disekap itu saya diwawancara langsung oleh wartawan radio 68H.
Cukup
lama saya dalam sendirian dan terteror. Setelah cukup lama masuk ke
ruang
penyekapan, Bambang Sukartiono dan Redaktur Pelaksana Kompas Trias
Kuncahyono. Saya sempat mempertanyakan kepada Bambang Sukartino,
beginikah
cara Kompas memperlakukan karyawannya seolah-olah sebagai seorang
kriminal.
Kalaupun saya salah, bukankah saya bisa ditegur baik-baik dan diajak
berbicara di ruang pimpinan Kompas?

Setelah itu saya diinterogasi. Saya tidak tahu apakah satpam memiliki
hak
interogasi. Namun karena saya tidak didampingi oleh pengacara saya
diam.
Ketika satpam menanyakan nama lengkap saya, saya jawab silahkan tanya
kepada
Bambang Sukartiono atau Trias Kuncahyono. Ketika ditanya, apakah saya
tidak
bersedia menjawab? Saya menyatakan tidak bersedia. Tak lama kemudian
saya
ditanya lagi, saya menjawab dengan nada keras, "Apakah pendengaran Anda
kurang jelas sehingga ada bertanya lagi meski saya telah mengatakan
saya
tidak mau menjawab. Trias Kuncahyono sebenarnya mencoba meminta agar
saya
boleh meninggalkan ruangan. Akan tetapi penyekapan tetap berlanjut.
Satpam
mengatakan, apakah akan begini terus sampai berhari-hari atau
bertahun-tahun. Saya jawab saya tetap tidak akan menjawab sampai
kapanpun.

Di depan kamera yang dipasang satpam saya sempat mengatakan, "Pak
Jakob,
beginikah cara Kompas memperlakukan karyawannya? "

Seperti layaknya seorang kriminal, ketika saya minta izin ke kamar
mandi,
saya dikawal oleh dua orang satpam. Saya mulai tidak enak badan, perut
mulas, lelah secara psikologis. Saya minta izin mengambil jaket di
ruang
redaksi, tidak diperbolehkan. AC dimatikan, sehingga ruang kemudian
menjadi
pengap. Saat itulah saya dikunjungi tiga pengurus Perkumpulan Karyawan
Kompas Rien Kuntari dan Luhur serta seorang mantan pengurus Tyas. Saya
baru
dilepaskan setelah Bambang Sukartiono datang kembali. Penyekapan itu
berlangsung selama sekitar dua jam. Saya kemudian dibawa ke lantai
tiga,
sejumlah satpam mengawal kami.

Setelah cukup lama menunggu, kami diundang masuk ke ruangan Pemimpin
Redaksi
Suryopratomo. Di dalam ruangan itu saya didampingi Rien Kuntari dan
Luhur.
Dari pihak manajemen ada Trias Kuncahyono, Didik, Bambang Sukartiono,
dan
Retno Bintarti. Di situ saya disuruh menerima surat pemberitahuan yang
dikeluarkan oleh redaksi. Dalam surat itu setelah saya baca kemudian
antara
lain berbunyi "Perusahaan dengan ini memutuskan tidak ada kepercayaan
lagi
kepada Saudara dan tidak dapat memperpanjang hubungan kerja dengan
Saudara
terhitung mulai tanggal 9 Desember 2006. Di situ juga dicantumkan
larangan
saya untuk masuk bekerja di seluruh lingkungan perusahaan. Anehnya
surat itu
ditandatangi bukan oleh GM-SDM atau Pemimpin/Wakil Pemimpin Umum tetapi
oleh
Pemimpin Redaksi Suryopratomo. Tidak ada permintaan maaf sepotong
katapun
dari pimpinan Kompas yang hadir di ruangan itu atas kekerasan yang saya
alami.

Saya sempat menyampaikan salam perpisahan kepada teman-teman di lantai
tiga
yang dekat dengan tempat duduk saya. Saya sempat menempelkan peringatan
di
meja saya, agar barang-barang pribadi saya jangan diganggu tanpa
sepengetahuan saya karena bisa berdampak perdata atau pidana. Saya
masih
menyimpan buku-buku, surat-surat, dan uang di meja saya.

Saya turun ke bawah bersama isteri saya dan sejumlah wartawan Kompas
yang
masih berani menunjukkan simpati atas kewenang-wenangan terhadap saya.
Di
lobi lantai dasar ternyata telah berkumpul puluhan aktivis dan sejumlah
wartawan. Di situ saya mengumumkan apa yang baru saja terjadi dan
pemecatan
terhadap diri saya.

Jakarta, 9 Desember 2006

P Bambang Wisudo
============ ========= ========= =====
Sekretariat AJI JAKARTA
Jl. Prof. Dr. Soepomo No 1 A
Kompl. BIER, Menteng Dalam
Jakarta Selatan 12870
Telp/fax. +62-21-83702660
Website : www.aji-jakarta . org <>
Newsletter : www.reporter- jakarta.blogspot .com
<>

Wednesday, December 6, 2006

Tuhan Sembilan Senti

Tuhan Sembilan Senti
Oleh: Taufiq Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi
perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang
tak merokok,

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im
sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang
tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,

di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya
apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk
orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang
merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula
merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana
kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat
bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter
tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun
menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut
dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang
bergumul
saling menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.

Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya
mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus,

kita ketularan penyakitnya.

Nikotin lebih jahat penularannya
ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan
nikotin paling subur di
dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap
tembakau itu,
Bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,
Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil,
pertandingan bulutangkis,
turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan
rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil 'ek-'ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat
dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh,
dengan cueknya,
pakai dasi,
orang-orang goblok merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im
sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup
bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk
kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
ke mana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda
yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC
penuh itu.
Mamnu'ut tadkhiin, ya ustadz.
Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii'atun bi mukayyafi al
hawwa'i.
Kalau tak tahan,
Di luar itu sajalah merokok.

Laa taqtuluu anfusakum.
Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu 'alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol,
sudah ada babi,
tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan,
jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar
perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil
yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir.
Biarkan mereka berfikir.

Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap,
dan ada yang mulai terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati
karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok
lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu
lintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir,
gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan,
berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara
kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku' dan sujud untuk taqarrub pada
tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana
dalam nikmat lewat upacara menyalakan api
dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana,
beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Monday, December 4, 2006

untuk (pemberontak) yang baru datang

....salah satu hal yang membahagiakan diri ini....
..ini merupakan hal yang luar biasa buat ku..
kadang rasanya melebihi jatuh cinta..
kawan...
selamat datang di kampung merah..
kampungnya pemberontak..

sangat bahagia jika lihat benih-benih perlawanan lahir..
segelintir orang yang memilih hidupnya bersama rakyat..
segelintir anak muda yang memilih melupakan huru-hara...b
erpikir untuk orang lain...
selamat saudara-saudari..b
ebaskan negeri ini.

adink, ruli, rika, dul...dll

di dalam ruang pengap rumah warga kawan belajar
...dalam berat mata kantuk.....
tuan menahan demi sebuah pengetahuan pembebasan
di hamparan alam bebas..
saudara saudari dengar materi aksi
di bibir empang ujung dusun
saudara belajar kerasnya rasa sakit..
di tengah hujan deras awal bulan desember...
..kader baru belajar tenang saat rasa takut dikejar...
meski hanya simulasi..

hari terakhir..l
angit mendung lagi..
ujian terakhir tahap awal dijalani .
.dalam keterbatasan kita harus bisa pulang..
hanya untuk meyakinkan...
bahwa.....
KITA BISA...

saat yang pertama mulai melangkah...
hujan mengikuti...
pelan tapi pasti..
aku tahu..
republik yang sakit ini..
...masih punya harapan...

kawan ini baru awal..

Peka demo 06.
bojong30 november - 3 desember 06