Monday, March 26, 2007

dari poster ke senapan*

hari terus berganti...

seakan ga pernah berubah
pegang poster berteriak dengan mega phone...
melempar selebaran
membentang spanduk ..

dari jalanan..
ke depan halaman DPR..
sekali waktu sedikit nakanl di dalam gedung sidang..
saat sidang berlangsung..

makin jengah mata..
mual perut ini lihat tingkah mereka...
tak pernah puas berpura-pura duduk atas nama ..
rakyatnya...

hutan dijual ..
tanah petani digusur ..
desa bersih dibuang....

hari ini terulang lagi..
selebaran seberti bintang yang bertebaran di langit...
mulut ini sudah malas berteriaK
kami tahu mereka "tuli"...
spanduk panjang digelar....

sampai saat nanti mulut ini lelah berteriak
tangan ini malas-gontai mengangkat poster....
sampai titik jengah ini tertusuk...
poster digantikan dengan senapan
yang akan diarahkan pada kepala presiden dan anggota dewan..
teriakan ini akan digantikan ledakan ..
dari molotov sederhana ..sampai bom rakitan urea selundupan ..

jutaan orang dijalanan bukan ingin jadi pahlawan..
tapi kami dipaksa oleh rezim..
untuk jadi PEMBERONTAK.....
___________________________________
* sepulang aksi penolakan RUU Penanaman Modal di dalam DPR-RI ruang sidang komisi VI

Wednesday, March 21, 2007

Kado Kegagalan Widjojonomics?

Revrisond Baswir

Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada 1997-1998 lalu ternyata tidak lebih dari sebuah isapan jempol belaka. Demikianlah kesan pertama yang muncul dalam benak saya ketika membaca dua buah buku, "Kesan Para Sahabat Tentang Widjojo Nitisastro," dan "Tributes For Widjojo Nitisastro By Friends From 27 Foreign Countries."

Kesan itu muncul karena dari 124 catatan dan artikel yang terangkum dalam kedua buku setebal 910 halaman tersebut, tidak sedikit pun terdapat tanda-tanda bahwa krisis ekonomi 1997/1998 benar-benar pernah terjadi.

Padahal, jika disimak semua catatan dan artikel yang terangkum dalam kedua buku itu, yang sedianya akan diterbitkan pada 1997, hampir seluruhnya dipersiapkan beberapa minggu, beberapa hari, atau bahkan bersamaan dengan dimulainya krisis ekonomi mahadahsyat tersebut. Lebih hebat lagi, alih-alih mengungkapkan tanda-tanda akan terjadinya krisis ekonomi, sebagian besar catatan dan artikel yang ditulis oleh para ekonom senior itu, justru asyik berbicara mengenai prestasi dan keajaiban ekonomi Indonesia.

Pertanyaannya, berangkat dari kecerobohan akademik para penyumbang catatan dan artikel yang sengaja dikumpulkan sebagai kado ulang tahun ke-70 Prof Widjojo Nitisastro tersebut, masihkah kita dapat memercayai kredibilitas dan keabsahan pemikiran-pemikiran ekonomi mereka?


***

Jawabannya, saya kira, cukup jelas. Bahkan, jika dibuka kembali berbagai pemberitaan media massa pada permulaan krisis ekonomi yang kini menenggelamkan Indonesia, dalam tumpukan utang dalam dan luar negeri sebesar Rp1.400 triliun tersebut, tidak sedikit di antara mereka yang justru berteriak lantang mengenai ketangguhan ekonomi Indonesia. Kata mereka, ketika krisis melanda Thailand dan Korea Selatan, 'Kita tidak perlu khawatir, sebab fundamental ekonomi Indonesia cukup baik.' Sebab itu, alasan penundaan penerbitan kedua buku tersebut selama 10 tahun tidak terlalu sulit untuk dipahami. Pertama, penerbitan kedua buku itu 10 tahun yang lalu jelas akan menjadi anekdot yang tidak lucu. Kedua, pengedaran buku tersebut di tengah-tengah krisis ekonomi yang sedang dialami Indonesia, secara bisnis, jelas tidak akan menguntungkan.

Bahwa setelah 10 tahun kedua buku tersebut jadi juga diterbitkan, tentu menarik untuk dipertanyakan. Tetapi saya tidak akan membahas hal tersebut. Saya juga tidak ingin menyinggung sedikit pun mengenai ketokohan atau sifat-sifat pribadi Widjojo.
Yang ingin saya bahas dalam mengupas kedua buku yang diterbitkan oleh Kompas itu adalah mengenai garis pemikiran ekonomi, yang selama 50 tahun terakhir dianut dan diamalkan Widjojo.

Secara kronologis, corak pemikiran ekonomi Widjojo dapat ditelusuri dari tulisannya yang berjudul "The Socio Economy Basis of the Indonesian State: an Interpretation of Paragraph 1, Article 38 of the Provisional Constitution of the Republic of Indonesia," yang diterbitkan oleh Universitas Cornell pada 1955.

Berdasarkan tulisan tersebut, berbeda dari kebanyakan ekonom yang lebih muda, dapat diketahui bahwa sejak awal Widjojo tidak asing dengan amanat konstitusi. Artinya, sesuai dengan pusat perhatian Widjojo pada ayat 1 Pasal 38 (kini Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, penulis), sejak awal Widjojo tidak asing dengan konsep demokrasi ekonomi dan koperasi.

Bahkan setelah pulang dari studi lanjutnya di Amerika, sebagaimana terungkap dalam artikelnya yang berjudul "Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Yang Tidak Bijaksana" (1966), Widjojo tetap tidak lupa dengan amanat konstitusi tersebut. Walaupun demikian, justru cara Widjojo dalam memahami demokrasi ekonomi inilah tampaknya yang menjadi pangkal semua persoalan. Dalam memahami demokrasi ekonomi, Widjojo ternyata sengaja menghindari penggunaan perspektif yang berkonotasi sosialisme. Sikap kritisnya terhadap ekonomi terpimpin yang dicanangkan Soekarno, rupanya mendorong Widjojo untuk memahami amanat konstitusi itu berdasarkan liberalisme.

Implikasi penafsiran paksa ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 berdasarkan liberalisme tersebut sangat jelas. Dengan menafsirkan demokrasi ekonomi berdasarkan liberalisme, walaupun tetap berbicara mengenai partisipasi rakyat, Widjojo cenderung memahaminya dalam bentuk peningkatan peran serta rakyat dalam mengawasi kekayaan dan keuangan negara, bukan dalam bentuk keikutsertaan rakyat dalam memiliki alat-alat produksi.

Implikasi berikutnya, bertolak belakang dengan Hatta, walaupun sama-sama menaruh perhatian terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, Widjojo kurang berminat terhadap pengembangan koperasi. Padahal, kalimat terakhir penjelasan Pasal 33 UUD 1945 secara jelas menyatakan, 'Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.' Corak pemikiran Widjojo yang berseberangan dengan Soekarno dan Hatta itu tentu tidak terbentuk dengan sendirinya. Hemat saya, dalam hal inilah peran dosen-dosen Belanda dan Amerika yang pada tahun 1950-an mengajar di Fakultas Ekonomi UI, memainkan peranan kunci. Demikian halnya dengan peran Yayasan Ford yang membiayai studi lanjut Widjojo dan kawan-kawan di Amerika pada 1957.

***

Sehubungan dengan kecenderungan Widjojo (dan kawan-kawan) untuk menganut paham ekonomi liberal ini, penjelasan Mohammad Sadli selaku saksi ahli dalam judicial review UU Kelistrikan di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu menarik untuk disimak. Menurut Sadli, 'reformasi mendasar dalam wawasan public policy di bidang ekonomi (pada permulaan Orde Baru, penulis) adalah ditinggalkannya kebijakan command economy di bawah pemerintah Presiden Soekarno, dan dasar kebijakan baru jauh lebih banyak mengikuti paham pasar yang serbabebas (free market forces dan market mechanism) sebagai wahana utama alokasi sumber daya dan dana'. .... 'Wacana baru ini juga merupakan refleksi kekecewaan (disenchantment) kami terhadap praktik pelaksanaan pasal 33 UUD 1945 oleh pemerintahan Soekarno.'

Berdasarkan keterangan Sadli itu, dapat diketahui bahwa upaya menelikung penafsiran Pasal 33 UUD 1945 bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa sengaja. Hanya saja, berbeda dari Sadli, saya kira kurang tepat bila dikesankan seolah-olah hal itu baru berlangsung sejak awal pemerintahan Soeharto. Masa perkuliahan dan tahun penerbitan artikel Widjojo tadi, secara jelas mengungkapkan bahwa secara sistematis hal itu sudah dirintis sejak awal 1950-an atau segera setelah Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan.

Dengan latar belakang seperti itu, kehadiran Widjojo dan kawan-kawan dalam pemerintahan Soeharto, tidak dapat begitu saja dipahami sebagai sesuatu yang bersifat kebetulan. Sebagaimana terungkap pada pendaftaran kembali keanggotaan Indonesia di IMF dan Bank Dunia, serta pembentukan IGGI, kehadiran Widjojo (dan kawan-kawan) dalam pemerintahan Soeharto jelas memiliki hubungan simbiosis mutualistis dengan kepentingan modal internasional.

Artinya, terlepas dari kekecewaan Widjojo (dan kawan-kawan) terhadap Soekarno, penyelenggaraan demokrasi ekonomi pada mulanya dimaksudkan sebagai upaya untuk mengoreksi struktur ekonomi Indonesia yang berwatak kolonial. Dengan menafsirkan demokrasi ekonomi secara liberal, Widjojo justru membukakan pintu bagi bertahannya struktur ekonomi warisan Hindia Belanda tersebut.

***

Terkait dengan itu, jasa Widjojo (dan kawan-kawan) dalam menegosiasikan pembayaran utang luar negeri Indonesia tidak dapat begitu saja dibatasi pada pembayaran utang luar negeri sebesar US$2,4 miliar yang diwariskan Soekarno.

Sesuai dengan kepentingan modal internasional, hal itu harus dikaitkan pula dengan kesediaan untuk membayar kembali utang luar negeri warisan Hindia Belanda sebesar US$4 miliar. Bahkan, jika diteruskan hingga berakhirnya era pemerintahan Soeharto, harus dikaitkan pula dengan pembuatan utang luar negeri baru sebesar US$54 miliar.

Dengan mengemukakan hal itu, bukan maksud saya untuk mengecilkan kerja keras Widjojo (dan kawan-kawan) dalam memajukan perekonomian Indonesia. Masalahnya, setelah mendapatkan kesempatan emas selama 32 tahun untuk mengamalkan corak pemikiran yang mereka yakini, harga yang dibayar oleh rakyat Indonesia rasanya sudah jauh terlalu mahal.
Dalam era pemerintahan Soeharto hal itu harus dibayar dengan hidup di bawah sebuah pemerintahan yang otoriter. Pascakrisis ekonomi 1997/1998, hal itu harus dibayar dengan tumpukan utang dalam dan luar negeri sebesar Rp1.400 triliun. Bahkan, menyusul pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal dalam beberapa tahun belakangan ini, hal itu harus dibayar dengan meningkatnya kembali angka kemiskinan dan pengangguran.

Yang sangat memprihatinkan, 60 tahun setelah proklamasi, struktur ekonomi Indonesia yang bercorak kolonial masih tetap seperti sediakala. Sebab itu, terlepas dari motivasi penerbitan kedua buku tersebut, pertanyaan terakhir saya, apakah harga yang harus dibayar oleh rakyat Indonesia untuk pengamalan sebuah corak pemikiran ekonomi tidak ada batasnya?***

Revrisond Baswir, dosen Fakultas Ekonomi Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Artikel ini sebelumnya dimuat di harian Media Indonesia, Sabtu, 17 Maret 2007.

Wednesday, March 7, 2007

....kapitalisme industri...

Kapitalisme Ala U2

Praktik mereka mirip dengan yang dijalankan perusahaan-perusaha an besar.

Di antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Yunus dari Bangladesh, keduanya kandidat penerima nobel perdamaian 2006, muncul nama Irlandia, Paul Hewson. Oleh sejumlah media di AS dan Inggris, Paul Hewson dinilai berhak menggondol nobel itu, karena di sela aktivitasnya sebagai vokalis grup rock beken U2, Paul Hewson alias Bono, mengampanyekan pengentasan kemiskinan di Afrika.

Demi Afrika, Bono bebricara dengan Presiden AS George W Bush atau bercengkrama bersama dedengkot Microsoft Bill Gates. Bono juga terlihat berdiskusi serius dengan mantan presiden AS Bill Clinton, bahkan berangkulan akrab dengan tokoh legendaris Afrika Sleatan, Nelson Mandela. Daftar ini makin panjang bila ditambah PM Jepang Shinzo Abe dan PM Irlandia Bertie Ahern.

Bukan cuma tokoh penting, penonton konser keliling dunia U2 2005 pun diajak peduli Afrika. Di arena konser yang gelap, dengan latar belakang lampu silau, Bono melantunkan salah satu hits U2, One. Di tengah-tengah lagu, Bono memohon fans U2 rela mengirim pesan pendek dari ponsel mereka ke ONE, salah satu organisasi nirlaba milik Bono yang tujuannya menghapus kemiskinan. Total 131 konser yang ditonton lebih dari 4,6 juta fans U2, SMS yang terkumpul mencapai 500 ribu.

Fans U2 mau mengikuti jejak Bono karena pria kelahiran Dublin 46 tahun lalu ini kharismatik. Lihat saja dandanannya: kemeja lengan panjang dan celana hitam, kacamata khas yang bentuknya lebar juga berwarna hitam, dan terkadang topi cowboys.

Namun Bono tak cuma menjual tampang dan gaya. Konon, pria yang menikahi teman SMU-nya di Dublin ini, jago lobi tingkat tinggi. Berkat lobi itu, Bono mendirikan tiga organisasi sosial, yaitu DATA (Debts, AIDS, Trade Africa), ONE, dan RED. ''Bono adalah pelobi yang sangat berbakat,'' puji Jamie Drummond, Direktur Eksekutif DATA, seperti dikutip dari Majalah Bloomberg Market edisi Maret 2007.

''Ia sangat persuasif dan kharismatik. Saat berbicara dengan para politisi, Bono mengingatkan mereka saat awal-awal politisi itu terjun ke dunia politik. Penuh dengan idealisme dan tekad,'' tambah Jamie. Bono juga sukses menggandeng perusahaan kakap macam Nike, American Express, GAP, Giorgio Armani, Motorola, dan Apple untuk mau menyisihkan 40 persen pendapatan belum dipotong pajaknya ke RED. Organisasi ini menggunakan dana tersebut guna memerangi AIDS, TBC, dan malaria di Afrika.

Belum puas, Bono bahkan mendirikan perusahaan pakaian Edun, yang tujuannya meningkatkan perdagangan di negara-negara berkembang. Edun menjual kaos oblong buatan Lesotho, Afrika, seharga 54 dolar AS di pusat pertokoan bergengsi di London. Rompi wool dari Peru yang ada di gantungan baju dibanderol 145 poundsterling dan jaket asal India yang mengkilat dihargai 240 poundsterling. Sebagian dari harga jual ini masuk ke organisasi Bono, ONE.

Sisi lain
Itu satu sisi Bono dan U2 yang kita lihat di layar televisi atau dibaca di media massa. Tapi bak dewa Janus dalam mitologi Romawi yang berwajah dua, maka Bono dan U2 punya sisi lain yang 180 derajat sangat berbeda.

''U2 adalah contoh dari kapitalisme tulen,'' kecam Jim Aiken, perantara konser U2 di era 1980 dan 1990-an. Aiken kerap membawa U2 manggung di Dublin saat itu. Apa wujud kapitalisme tulen a la U2 dan Bono? Jawabnya, mereka meminimalisasi pajak. Konser U2 bertajuk Vertigo sukses meraup keuntungan kotor 389 juta dolar AS hanya dari tiket. Vertigo didaulat sebagai konser paling laku kedua sepanjang sejarah. Di bawah konsernya si bibir dower Mick Jagger dan The Rolling Stones yang meraup 425 juta dolar AS di akhir 2006.

Bloomberg Market menelusuri dana hasil konser U2 bertumpuk di sejumlah anak perusahaan U2 yang berdomisili di Irlandia. Konon dananya dikerjai agar pajaknya rendah. Guna makin merendahkan setoran pajaknya, U2 juga rela memindahkan perusahaan rekaman mereka dari Irlandia ke Belanda, Juni 2006. Alasannya, pajak perusahaan sektor rekaman di Belanda termasuk yang terendah se-Eropa.

Kontan, perpindahan itu menuai kecaman dari akuntan-akuntan pajak setempat. ''Siapapun harus membayar pajaknya dengan adil ke pemerintah. Karena dari pajak kita bisa membangun jalan, sekolah, dan lain-lain,'' tandas Dick Molenaar, konsultan pajak dari firma All Arts Tax Advisers, Rotterdam. Sayangnya, U2 kecele, karena enam bulan sesudahnya Irlandia justru menurunkan tarif pajak serupa.

Ada juga cerita, saking doyannya meminimalisasi pajak, direktur eksekutif U2 sampai ditugaskan tinggal di luar negeri. Dengan demikian pajak perorangan yang harus ditanggung menjadi lebih rendah. Pemerintah Irlandia tidak lagi memajaki lima orang, melainkan hanya empat orang anggota U2, yaitu Bono, The Edge sang gitaris, Adam Clayton pemetik bas, dan penggebuk drum Larry Mullen.

Bagi U2, apa yang mereka lakukan ini sah. Aturan pajak di Irlandia maupun di Belanda memungkinkan perusahaan merestrukturisasi diri mereka agar pajak yang dibayar tetap rendah. Manajer U2, Paul McGuinnes, malah menggambarkan U2 sebagai bisnis yang taat pajak, bercermin dari aturan itu.

''Sedikitnya 95 persen dari bisnis U2 termasuk rekaman dan penjualan kami tempatkan di luar Irlandia. U2 membayar pajak dengan tarif yang sangat beragam di seluruh dunia. Kami juga menaati hukum pajak Irlandia,'' kata McGuinnes seperti dikutip New York Times, awal bulan ini.

Pajak dan etika bisnis memang kerap bersinggungan. Apalagi kalau dasarnya berorientasi ke penumpukkan modal (kapitalisme) dan laba. Dunia barat paling tenggang rasa terhadap dua hal ini. Sehingga cara apapun tampaknya 'layak' dilakukan.

Namun etika bisnis U2 dan Bono tidak mencerminkan apa yang mereka pesankan lewat konser musik atau lagu-lagunya. "Apa yang dilakukan Bono dan U2 untuk meminimalisasi pajaknya sangat inkonsisten dengan apa yang mereka sarankan ke pemerintah-pemerint ah untuk mengentaskan kemiskinan,'' cetus Richard Murphy, peneliti dari Tax Research LLC, asal Inggris.

Ada juga pihak yang menilai apa yang U2 lakukan ini serupa dengan kebiasaan perusahaan raksasa di dunia. ''Mereka memanfaatkan celah dalam aturan pajak. Saya tidak bilang bahwa apa yang U2 lakukan ini tidak adil, tapi tindakan mereka adalah hal yang lazim,'' kilah Prof Michael J Graetz dari Universitas Yale.

Hal inilah yang dilihat Jim Aiken sebagai dua muka dari U2. ''Sumbangan sosial yang paling berarti sebetulnya tidak perlu jauh-jauh ke Afrika, cukup bayar saja pajak Anda dengan benar!,'' kecam dia. stevy maradona

Bisnis-bisnis Itu

* Eventcorp (perantara konser)
* Mother Music (perusahaan rekaman)
* Mother Records (produksi rekaman)
* Remond (perantara konser)
* Sam Tours (perantara konser)
* Straypass (penyelenggaran konser)
* Target Tours (perantara konser)
* U2 Ltd (perusahaan pembuat master rekaman)
* Fair City Trust
* Princus Investment
* Thengel
* U2 Clothing Co
* Hotel Clarence di Dublin
* Kedai kopi Nude
* Edun (perusahaan pakaian)

Sumber: Bloomberg Market, Februari 2007. ( )

anggaran komnas kemana aja...

data ni di posting dari seorang kwn yang kerja di KOMNAS HAM...

tahun anggaran 2006 saja sebesar 40 milyar.dari sekian banyak anggaran itu
sebanyak 13,5 di pergunakan untuk gaji dan operasional harian.Sisanya
untuk dana program termasuk semestinya dan seharusnya lebih banyak untuk
penyelidikan tapi yang ada adalah, dari sisa anggaran itu, 75% lebih
dipergunakan untuk program sosialisasi, kampanye pelataihan dan penerbitan
buku dan bla-bla kePublic-relationan lainnya.anda dapat membayangkannya
kan, minimal mengkalkulasikannya ..

pantes..komnas muter2 aja di situ..kasus ga ada yang beres...
wataknya keliatan pas hari HAM 10 des 06...bukannya buat ditempat dengan rakyat..malah di cafe...
cuapee dech..

Tuesday, March 6, 2007