Friday, June 15, 2007

Meroketnya harga minyak goreng:Kesalahan model agribisnis

Kenaikan harga minyak goreng hingga saat ini (Kamis, 14/06) bukanlah
alamiah, atau hal yang tiba-tiba datang dari langit. Menurut Federasi
Serikat Petani Indonesia (FSPI), fenomena ini dikarenakan model
agribisnis—terutama komoditas sawit di Indonesia yang tidak berpihak
pada petani kecil dan konsumen. Agribisnis sawit di negeri ini sudah
lama dikuasai oleh model agribisnis dengan karakteristik
kapitalistik-neoliberal.

Minyak goreng merupakan salah satu sembako yang sangat dibutuhkan
rakyat Indonesia. Namun model agribisnis malah menghasilkan struktur yang
oligopolistik. Pengusaha besar dengan gampangnya menguasai mekanisme
pasar dari hulu hingga hilir, membuat situasi rakyat miskin semakin
tertindas. FSPI mencatat, hampir keseluruhan proses produksi minyak goreng
tidak dikuasai oleh negara (sangat bertentangan dengan konstitusi negara,
terutama UUD 1945 pasal 33 ayat 3). Hal ini berakibat intervensi
pemerintah dalam menurunkan harga minyak goreng tidak efektif, karena
pemerintah bahkan tidak memiliki stok!

Produksi minyak goreng negeri ini hanya dikuasai segelintir pihak saja,
dari mulai luas kepemilikan lahan hingga industri pengolahannya. Swasta
menguasai 4 juta hektar lahan (sekitar 67 persen), dan rakyat hanya 1,9
juta hektar (sekitar 33 persen) saja. Perkebunan kelapa sawit yang luas
dimiliki oleh PT Astra Agro Lestari, Sinar Mas Group, PT London
Sumatera, PT Minamas Gemilang, PT Asian Agri, PT Duta Palma, PT Bakrie
Sumatera Plantation, PT Salim Ivomas Pratama, PT Surya Dumai. *Refinery* untuk
pengolahan minyak goreng juga hanya dimiliki beberapa perusahaan
raksasa di atas.

Perspektif pemerintah untuk membiarkan harga pada mekanisme pasar
tentunya salah besar. Kartel perusahaan-perusahaan raksasa inilah yang
mengontrol harga dari dalam hingga luar negeri, karena Indonesia juga salah
satu pemain besar CPO di dunia. Dengan margin permintaan dan penawaran,
perusahaan-perusahaan ini (selain juga pemain dari Malaysia sebagai
penguasa pasar sawit dunia) bisa mengendalikan harga dan stok. Akibatnya,
dengan gejolak pasar yang ditandai dengan permintaan yang meningkat
pada beberapa bulan terakhir, kuku dominasi mereka bisa tertancap lebih
tajam.

Harga CPO yang tertinggi dalam sejarah (870 US$ per metrik ton)
tentunya hanya dinikmati oleh pemilik pabrik dan perusahaan besar. Sementara
harga TBS (Tandan Buah Segar) tetap berfluktuasi di beberapa daerah.
Petani sawit berskala kecil-berbasiskan keluarga tani yang lahannya
rata-rata 1 hingga 2 hektar di Jambi misalnya, cuma menikmati harga TBS Rp
900 hingga Rp 1050 per kilogram. Mereka nyata-nyata tidak menikmati harga
CPO atau minyak goreng yang terus meroket. Sebaliknya, mereka juga
dirugikan karena tetap harus mengkonsumsi minyak goreng dengan harga mahal.
Di berbagai daerah anggota FSPI di pedesaan, harga minyak goreng masih
sangat tinggi dan berkisar dari Rp 8.750 hingga Rp 10.500.

Solusi pemerintah yang hanya mengandalkan "kebaikan hati perusahaan"
juga tak berdampak banyak. PE (Pajak Ekspor), DMO (Domestic Market
Obligation) dan PSH (Program Stabilisasi Harga) menjadi tidak substansial
saat stok minyak goreng ternyata tidak di tangan pemerintah. Alangkah
baiknya untuk sembako, termasuk minyak goreng di dalamnya, terus
distabilisasi oleh badan pemerintah yang berfungsi PSO (Public Service
Obligation). Beberapa tahun lalu, Bulog tidak hanya mengurusi beras, namun juga
minyak goreng sebagai salah satu sembako. Ini bisa menjadi pelajaran
sebagai salah satu bentuk kontrol dan peran negara terhadap kedaulatan
pangan rakyat. Dampak positifnya jelas, kendali bisa dipegang oleh
pemerintah, tidak seluruhnya diberikan kepada pasar yang didominasi segelintir
perusahaan raksasa saja.
Akibat dari model agribisnis yang oligopolistik ini jelas hanya satu:
Bahwa rakyat terus yang akan dirugikan!

Kontak lebih lanjut: Henry Saragih (Sekretaris Jenderal FSPI);
08163144441

Achmad Ya'kub (Deputi Pengkajian Kebijakan dan Kampanye FSPI);
0817712347

Mohammed Ikhwan (Koordinator Pusat Pengkajian dan Penelitian FSPI);
081932099596

* *

*Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)*

Jl. Mampang Prapatan XIV No. 5 Jakarta – Indonesia 12790

Tel. +62 21 7991890 Fax. +62 21 7993426
Media Release, 15 Juni 2007*
*website: http://www.fspi.or.id email: fspi@fspi.or.id *