Wednesday, December 13, 2006

Belajar dari penyehatan BUMN China (bukan liberalisasi..)

Kompas 13 des 2006

China adalah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yaitu sekitar 9%-10% setiap tahunnya, setidaknya dalam lima tahun terakhir. Di balik tingginya laju ekonomi tersebut, ternyata peran BUMN China cukup dominan.

Jurnal Far Eastern Economic Review (FEER) terbitan Oktober 2006 lalu menurunkan artikel Hofman dan Kuijs, ekonom Bank Dunia di Beijing. Dalam tulisannya, Hofman dan Kuijs menyatakan bahwa BUMN China berperan signifikan dalam perekonomian, khususnya BUMN yang bergerak di sektor padat modal seperti industri berat.

State-owned Assets Supervision and Administration Commission (SASAC) melaporkan bahwa dalam tujuh bulan pertama tahun ini, laba BUMN China mencapai 497 miliar yuan (US$63 miliar), naik 15,2% dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan data Depkeu China, laba dari seluruh BUMN pada 2005 mencapai 905 miliar yuan (US$114 miliar), meningkat 25% dari 2004.

Sedangkan berdasarkan survei dari National Bureau of Statistics (BPS-nya China) menunjukkan kontribusi BUMN yang rugi menurun, dari sekitar 40% lebih pada 1998 menjadi kurang dari 35% pada 2004, dengan angka kerugian dari 115 miliar yuan (US$15 miliar) pada 1998 menjadi 66 miliar yuan (US$8 miliar) pada 2004.

Laba dari BUMN penghasil laba juga meningkat, yaitu dari 52 miliar yuan (US$6,6 miliar) pada 1998 menjadi 531 miliar yuan (US$67 miliar) pada 2004. Depkeu China juga mencatat bahwa subsidi untuk BUMN rugi juga terus mengalami penurunan dan sekarang tinggal 20 miliar yuan (US$2,5 miliar), atau hanya 2% dari total keuntungan laba BUMN. Itu bukti bahwa restrukturisasi membawa hasil positif bagi BUMN di negara itu.

Sedang gencar
China memang sedang gencar melakukan restrukturisasi atas BUMN-nya. Pada 2002, sekitar 86% dari sekitar 87.000 BUMN yang telah direstrukturisasi, 70%-nya diprivatisasi, baik parsial maupun secara penuh, 10% dilikuidasi, dan 20% dilakukan merger/konsolidasi dengan BUMN lainnya.

Akibatnya, BUMN pun melakukan pemangkasan tenaga kerja (layoff). Pada periode 1998-2005, sekitar 35 juta pekerja BUMN kehilangan pekerjaan. Tetapi, restrukturisasi BUMN ini menghasilkan peningkatan kinerja.

Terdapat beberapa kasus yang menarik dari proses restrukturisasi BUMN di China sehingga bisa sukses. Pertama, Pemerintah China memiliki komitmen kuat terhadap BUMN-nya. China adalah negara dengan sistem politik komunis. Namun, China ternyata bisa memisahkan antara urusan politik dan ekonomi.

Untuk mencegah intervensi politik ke BUMN, pemerintah membentuk SASAC yang independen (semacam Temasek) pada Maret 2003. SASAC inilah yang mengendalikan sekitar 127.000 BUMN (posisi 2005). Uniknya, ia diberi mandat mengelola portofolio BUMN tanpa terikat harus menyetorkan dana hasil dividen ataupun privatisasi kepada pemerintah. SASAC memiliki keleluasaan atas penggunaan dana hasil dividen ataupun privatisasi.

Baru belakangan ini, pemerintah meminta SASAC menyetorkan dividen. Pemerintah meminta SASAC agar pada 2007 menyetor dividen untuk membiayai kebutuhan publik dan pengembangan industri serta diarahkan untuk membatasi investasi BUMN yang dinilai overinvestment.

Kontribusi BUMN terhadap perekonomian nasional China sangatlah besar. Pemerintah China merasa perlu mengurangi laju ekspansi investasi BUMN China untuk mendinginkan suhu ekonomi yang overheating, karena tumbuh rata-rata 10% per tahun dengan cara menarik dividen (The Wall Street Journal edisi Asia, 18 September 2006).
Pertahankan yang besar
Kedua, pemerintah China menggunakan doktrin grasp the large and let go of the small (zhua da fang xiao) dalam pengembangan BUMN-nya. Artinya, pemerintah China akan mempertahankan BUMN besar dan akan melepas BUMN kecil.

Kebijakan yang diambil terhadap BUMN besar, seperti Shanghai Baosteel Group Corp. (perusahaan baja terbesar di China) dan China Petroleum & Chemical Corp. atau Sinopec (perusahaan minyak terbesar di Asia) adalah mempertahankan kepemilikan mayoritas pemerintah. Kemudian, atas BUMN ini dilakukan berbagai upaya korporatisasi dan privatisasi secara parsial untuk masuknya investor baru.

Sementara itu, bagi BUMN kecil dilakukan upaya pelepasan atas mayoritas saham pemerintah kepada publik melalui initial public offering (IPO). Tidak mengherankan bila dalam satu dekade ini, jumlah perusahaan yang listing di bursa efek China meningkat drastis.

Meski gelombang privatisasi di China meningkat, sesungguhnya kepemilikan swasta pada perusahaan yang listing di bursa tidaklah besar. Sebuah studi (2002) menunjukkan hanya 11% dari perusahaan China yang listed yang dikuasai oleh swasta. Untuk perusahaan yang telah listed tersebut dibentuk holding company guna mengelola portofolio kepemilikan saham tersebut.

Ketiga, perlu dipahami bahwa proses restrukturisasi dan privatisasi BUMN di China bukanlah tidak mengalami persoalan. Perlu dipahami bahwa tidak semua BUMN besar China telah dikelola dengan tingkat efisiensi dan profitabilitas tinggi.

Perusahaan baru
Menarik apa yang dilakukan China, atas BUMN yang bermasalah tersebut ditempuh upaya di mana BUMN tersebut mendirikan perusahaan baru yang merupakan kombinasi antara swasta dengan BUMN. Dari perusahaan baru ini, BUMN mendapat dividen dan menjadi pendapatan BUMN untuk membiayai pesangon karyawan yang akan di-layoff.

Mungkin pengalaman dalam merestrukturisasi BUMN-nya bukanlah contoh yang ideal bagi Indonesia. Namun, dari pengalaman China ini kita menyadari bahwa sesungguhnya sukses tidaknya masa depan BUMN, sangat tergantung dari kemauan politik semua pihak, termasuk parlemen.

Kedua, ke depan model pengelolaan BUMN di bawah sebuah kementerian yang tidak independen (dalam arti menjadi bagian pemerintah) seperti yang berlaku saat ini, perlu ditinjau ulang. Sudah saatnya induk bagi pengelolaan BUMN dilepaskan dari institusi pemerintah dan menjadi super holding company yang independen.

Penulis berpendapat bahwa solusi privatisasi dengan melepas mayoritas kepemilikan pemerintah di BUMN kepada investor strategis (terutama asing) adalah pilihan yang menunjukkan kita kalah. Oleh karenanya, restrukturisasi korporasi BUMN plus privatisasi parsial yang diimbangi dengan kemauan politik kuat merupakan jawaban bahwa kita adalah bangsa yang kuat dan terbuka, baik secara ekonomi dan politik.

Oleh Sunarsip Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI

No comments: