Tuesday, February 27, 2007

Anggaran Direkayasa Hingga 300 Persen
Sebanyak 35-95 Persen Utang Kembali ke Negara Kreditor

Jakarta, Kompas - Anggaran belanja barang dan modal pemerintah pusat disinyalir digelembungkan sekitar 200 hingga 300 persen di atas harga pasar karena pengguna anggaran berupaya mengeruk keuntungan dari setiap transaksi. Kebocoran APBN pada dua pos tersebut bisa mencapai Rp 80 triliun setahun.

Direktur Inter-Cafe Institute Pertanian Bogor Iman Sugema mengungkapkan hasil survei dengan Bappenas itu di Jakarta, Minggu (25/2), di tengah konferensi pers Tim Indonesia Bangkit. Anggaran belanja modal dan belanja barang setiap tahunnya dialokasikan sekitar Rp 120 triliun. Anggaran ditetapkan dalam APBN dengan dasar perhitungan pengadaan barang yang sudah digelembungkan 200 persen hingga 300 persen dari harga pasar.

"Dari hasil survei kami, ditemukan antara lain pengadaan seperangkat desktop (komputer meja) dengan kemampuan Pentium IV dibeli dengan harga Rp 15 juta per unit, padahal di pasaran harganya Rp 4 juta per unit. Praktik penggelembungan harga juga dilakukan dalam hampir semua pengadaan, dari konsultan hingga pembelian barang sederhana," katanya.

Dengan demikian, ujar Iman, anggaran pengadaan barang dan modal yang normal seharusnya cukup hanya dengan Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya memiliki dana yang bisa dihemat sekitar Rp 70 triliun hingga Rp 80 triliun. "Dengan posisi defisit Rp 40 triliun tahun ini, harusnya pemerintah tidak perlu pusing memikirkan pembiayaannya karena ada dana Rp 70 triliun hingga Rp 80 triliun," katanya.

Alokasi anggaran belanja barang dan modal ditetapkan pemerintah dengan persetujuan Panitia Anggaran semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, anggaran belanja barang ditetapkan Rp 55,99 triliun dan belanja modal Rp 72,19 triliun. Jumlah itu meningkat dalam APBN 2007, yakni belanja barang Rp 69,78 triliun dan belanja modal Rp 73,13 triliun.

Iman mengkhawatirkan, hasil survei bersama Bappenas itu tidak dimanfaatkan pemerintah untuk memperbaiki sistem penggunaan anggaran ke depan. Pengalaman sebelumnya, hasil survei serupa (untuk penggunaan anggaran yang berasal dari utang luar negeri 2001-2005) hanya menjadi dokumen tak terpakai. "Temuan itu luar biasa, karena 35-95 persen utang yang diterima Indonesia dikembalikan ke negara kreditornya dalam bentuk pengadaan jasa sehingga hanya 5-65 persen kita nikmati," katanya.

Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Depkeu Hekinus Manao mengatakan, pengawasan Depkeu terhadap penggunaan anggaran belanja barang dan modal hanya sebatas rincian proyek pada Ditjen Anggaran. Itu kurang efektif dalam mengawasi penerapan harga barang karena proses transaksinya di luar kontrol Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).

Seharusnya, menurut dia, dipakai sistem kontrol melalui hasil akhir. Misalnya untuk membuat 1.000 KTP, berapa biaya wajarnya. Jadi tidak perlu dikontrol cara membeli dan harga bahannya, karena biaya kontrol itu mahal dan sulit sempurna.(OIN)

http://kompas. com/kompas- cetak/0702/ 26/utama/ 3341861.htm

No comments: