Monday, December 11, 2006

Korporatokrasi

oleh : Hendrawan Supratikno

Konsep korporatokrasi (corporatocracy) sering digunakan untuk menggambarkan keadaan saat pemerintah dalam banyak hal bekerja di bawah tekanan, tunduk kepada, dan sekaligus melayani kepentingan perusahaan swasta besar.

John Perkins mengartikan korporatokrasi sebagai "a system of governance controlled by big corporations, international banks, and government" (2004: xii). Tujuan akhirnya adalah melanggengkan tatanan global yang pro-akumulasi modal.

Gejala meluasnya korporatokrasi di Indonesia terlihat saat dengan mudah kita dimabukkan pujian-pujian konsultan asing tentang prospek Indonesia untuk segera menjadi salah satu "Macan Asia" pada akhir abad ke-20. Kita belakangan sadar, kehebatan ekonomi itu tak lebih gugusan buih yang mudah terempas angin.

Saat krisis mendera, puluhan konsultan asing menghambur masuk. Di bawah bayang-bayang kedigdayaan Dana Moneter Internasional (IMF), kita menggelontorkan ratusan triliun rupiah untuk menyelamatkan perbankan nasional.

Setelah itu, satu per satu perusahaan yang semula menjadi kebanggaan nasional lepas dari tangan kita. Beberapa perusahaan itu dijual obral. Atas nama globalisasi, kita menerima semuanya sebagai hal yang wajar.

Yang terakhir, langkah maju- mundur pemerintah untuk bertindak tegas dalam kasus lumpur Lapindo, yang seolah memberi ruang bagi rekayasa jual-beli antarperusahaan, menunjukkan perusahaan (korporasi) memiliki kekuatan dahsyat.

Bergaya "cowboy"

Pada titik ini, karya David Korten, When Corporations Rule the World (1995), merupakan buku pengingat yang baik. Korten menggunakan istilah "cowboys in a spaceship" guna menggambarkan kerakusan korporat yang mengeksploitasi sumber daya bumi yang terbatas.

Mengutip ahli ekonomi Kenneth Boulding, Korten berharap muncul kekuatan pengimbang untuk mendesak perusahaan berubah dari perilaku gaya cowboy menjadi gaya astronot. Astronot terbiasa hidup dalam kondisi kelangkaan sehingga sumber daya yang terbatas digunakan dengan hati-hati, tidak boros, dan sebisa mungkin selalu didaur ulang.

Namun, dapatkah kerakusan korporat dihentikan? Akademikus Joel Bakan, yang mempelajari perkembangan hukum-hukum korporat, meragukannya. Dalam bukunya, The Corporation (2004), disebutkan korporasi sebagai lembaga psikopat yang selalu haus akan keuntungan dan kekuasaan.

Ketika bentuk badan hukum perseroan terbatas diperkenalkan di Inggris tahun 1856, dengan ciri khas tiap pemilik hanya memiliki tanggung jawab terbatas (limited liability), sejumlah pengkritik mengingatkan, perusahaan seperti itu akan memungkinkan "setiap orang terlibat dalam bisnis dengan risiko kerugian yang kecil, tetapi risiko untung yang tak terbatas".

Pada akhir abad ke-19, berkat lobi di New Jersey dan Delaware, bentuk badan hukum perseroan disahkan untuk bertindak bebas, beridentitas, melakukan bisnis atas nama sendiri, memiliki aset dan pekerja, boleh maju ke sidang pengadilan untuk membela hak dan kepentingannya.

Tidak mengherankan jika setelah itu gelombang merger dan akuisisi melanda AS dan Eropa, serta memunculkan era baru, era corporate capitalism.

Ketika Berle dan Means (1932) menerbitkan penelitiannya, bahwa terjadi pemisahan antara kepemilikan (ownership) dan pengelolaan (control) di berbagai perusahaan besar di AS, kekhawatiran perilaku korporat akan lebih menekankan kepentingan jangka pendek kian tak terelakkan.

Presiden Roosevelt, yang menilai tingkah korporasi sebagai salah satu penyebab depresi, berusaha mengoreksi kebebasan korporasi yang berslogan "democracy limited, corporations unlimited". Upaya itu kurang berhasil karena tokoh-tokoh bisnis berhasil menunjukkan, kesejahteraan karyawan dan masyarakat lebih mungkin dikerjakan korporasi ketimbang negara.

Evolusi korporat pun tak terbendung. Hari ini kita melihat dalam daftar majalah-majalah bisnis, berbagai perusahaan global memamerkan kedigdayaannya di pentas dunia. Hampir tak ada aspek kehidupan kita yang tak tersentuh olehnya.

"Strong government"

Kecenderungan korporasi memperlemah kemampuan pihak luar, termasuk pemerintah, dalam membatasi atau mengontrol kegiatannya, seharusnya terus kita sadari.

Agen-agen korporat melalui lobi-lobi tingkat tinggi, dengan memanfaatkan jaringan media pembentuk opini publik, akan memengaruhi berbagai peraturan, agar hasil akhirnya tetap berpihak pada kepentingan mereka. Fenomena ini oleh George Stigler, pemenang Nobel Ekonomi 1982, disebut regulatory capture.

Tentu saja, dalam iklim politik dan birokrasi publik yang diwarnai biaya mobilitas vertikal yang mahal, pasar-pasar lobi menjadi menjamur. Dalam kondisi demikian, pengusaha merupakan sumber dana politik yang andal, dan tukar-menukar konsesi lumrah terjadi.

Itu sebabnya, tak mengherankan jika Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001, mengamati privatisasi bisa berubah menjadi profitisasi elite atau pyratization (perampokan) . Globalisasi bisa berubah menjadi lisensi untuk merampok. Sampai kapan kita tak berdaya menghadapi semua ini? Bukankah kita pandai berslogan: "bersama kita bisa, bersatu kita mampu"?

Hendrawan Supratikno Direktur Program Pascasarjana IBII, Jakarta

No comments: