Monday, November 17, 2008

belajar dr india 1 (dr milis tetangga)

PENDIDIKAN TINGGI DI INDIA

India sudah menang start dalam mencetak orang pintar
dan ahli. Sebelum India merdeka, Sir Ardeshir Dalal,
aristokrat Parsi, memberi saran kepada Nehru bahwa
teknologi bakalan berperan penting untuk membangun
India merdeka. Strategi untuk anak tangga teknologi
adalah begini kata dia: hasilkan banyak-banyak
insinyur bertaraf dunia; bentuk lembaga riset tangguh;
dan bikin sistem beasiswa agar lulusan yang jempolan
dapat melanjutkan pendidikan pasca-sarjana terbaik
didunia. Singkat cerita, Nehru menyambar gagasan Sir
Ardeshir Dalal, dan membentuk Indian Institute of
Technology di Kharagpur, Bombay, Kanpur, dan Guwahati.
IIT Roorkee menyusul kemudian. Setelah 5 IIT awal
itu jalan, baru parlemen India tahun 1961 mengesahkan
IIT Act. Dalam UU IIT itu ada unsur yang penting,
yaitu sekalipun pemerintah yang memodali dan
mengongkosi IIT, tapi pemerintah tidak campur tangan
dalam urusan pengangkatan guru besar dan kurikulum dan
silabus.

Tidak terelakkan lagi, banyak lulusan IIT mencari
greener pastures ke Amerika apalagi sebelum India
membuka pintu globalisasi tahun 1991. Amerika juga
membutuhkan mereka; Jim Clarke, pendiri
Healtheon/WebMD, mengakui bahwa sukses usahanya banyak
ditentukan oleh berapa lulusan IIT yang dia bakal
gaet. Hampir tidak satupun dari perusahaan paling
sukses dalam daftar Fortune 500 yang tidak ada orang
IIT nya. McKinsey, perusahaan konsultasi manajemen
ternama didunia pernah dikepalai orang IIT, begitu
pula United Airlines dan US Airways. Pendiri dan CEO
dari Sun Microsystems juga orang IIT. Begitu pula
vice-chairman dari Citygroup, CEO dari Vodaphone, boss
dari Lucent Technologies. Penemu brown dwarf star
juga orang IIT di Amerika. Mereka merambah ke jajaran
management-guru di Kellog. Orang IIT ada di World
Bank, IMF dan NASA, atau dimanapun dibidang frontier
knowledge dari robotics sampai fisika solid-state,
dari metalurgi sampai matematika murni di Amerika ada
orang IIT nya.

Pres. Abdul Kalam waktu meresmikan International
Institue of Information Technology (I2IT) di Pune
dekat Bombay mengatakan bahwa India tidak takut brain
drain karena melimpahnya insinyur yang dihasilkan.
Perlu diketahui, bahwa selain IIT yang 7 buah itu, ada
ratusan colleges of engineering terutama di India
Selatan. Di Bombay selain ada IIT, misalnya, ada 30
colleges of engineering, di Pune ada 40, dan di
Chennai (dulu Madrad) ada 230 selain IIT Madras.

Mengirim anak ke IIT adalah harapan top orang tua,
atau setidak-tidaknya ke kedokteran dan commerce.
Karena itu, persaingan bukan main ketatnya. Untuk
masuk colleges of engineering umumnya lulusan kelas-12
harus meraih nilai 9.2 (untuk matematika, fisika,
kimia dan bahasa Inggris). Untuk masuk IIT, si calon
dihadang lagi dengan JEE (Joint Entrance Test), yang
"hanya" mensyaratkan sekurang-kurangnya nilai 50 dari
100. Tapi pertanyaan essaynya itu yang susah
mengisinya, bimbingan test boleh dikata percuma karena
soalnya tidak bisa ditemukan dari contoh soal
tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, soal essay untuk
tahun 1984 adalah menguraikan tentang Bernoulli
principle, Doppler effect, Lorenz forces, ionic
equilibria dan combinatronics -- tak satupun keluar di
soal sebelumnya. Demikian cerita Venky Harinarayan,
ex IIT Madras dan pendiri junglee.com.

Dari mana IIT diongkosi? Sebagian besar dari negara.
Sejak pendiriannya sampai tahun 1979, misalnya, IIT
Bombay mendapat US$ 1.15 juta untuk pengadaan alat,
2,352 man-month untuk pengajaran oleh tenaga pengajar
luar negeri, dan tenaga pengajar IIT Bombay menjalani
pendidikan lanjut di luar negeri sebesar 810
man-months. Seluruh IIT juga mendapat bantuan
pengadaan peralatan laboratorium yang tidak kecil
sampai tahun itu, bantuan luar negeri untuk alat
senilai US$ 11.97 juta atau sekitar 40% dari anggara
negara untuk keperluan itu yang US$ 29.03 juta.
Demikian angka yang saya kutip dari Sandipan Deb,
dalam bukunya The IITans. Sumbangan dari alumni juga
amat besar. Arjun Malhotra, co-founder dari HCL group
dan kini CEO di TechSpan, bersama dengan Suhas Patil,
co-founder dari CirrusLogic dan salah satu
enterpreuner paling sukses di Silicon Valley,
menyumbang 3MBPS sambungan fibre optic dengan
kapasitas cukup besar untuk meneruskan video on demand
ke 2,800 kamar asrama mahasiswa IIT Kharagpur.
Setiap mahasiswa bisa memperoleh PC canggih dikamarnya
dengan hanya membayar uang muka Rs
10,000 (Rp 2 juta) sisanya fasilitas bank super murah.
Untuk proyek itu, kedua alumni IIT Kharagpur itu rela
mengeluarkan US $ 5.9 juta dari koceknya sendiri. Di
IIT Powai (Bombay), alumnusnya, Nandan Nilekani, CEO
Infosys Technologies di Bangalore, menyumbang dari
koceknya sendiri gedung asrama mahasiswa yang nyaman
dan modern. Tapi dari luar, IIT Powai kalah megah
dari UI Depok.

Uang bukan segala-galanya bagi tenaga pengajar India.
Dr. Vijay Bhatkar, bapak super computer India kurang
apa kalau dia mau. Tapi dia merasa cukup bahagia bisa
ikut memajukan I2IT Pune, dengan gaji seadanya. Tahun
lalu University of Bombay pasang iklan mencari
sejumlah tenaga associate professor dan professor.
Berapa gaji yang ditawarkan? Rs 25,000 atau 5 juta
rupiah padahal syaratnya Ph.D dengan pengalaman dan
kwalifikasi yang memadai.

Kalau di Indonesia ada protes mengenai tingginya
ongkos masuk UI, di India justru rencana menteri HRD
Manohar Joshi (sekarang mantan) untuk memangkas uang
masuk Indian Institute of Management (IIM) ditentang
bukan saja oleh pimpinan tapi juga oleh mahasiswa IIM.
Kenapa pasal? Karena mahasiswa miskinpun asal pintar
bisa masuk IIM, dengan beasiswa yang ditawarkan banyak
bank untuk dibayar kembali setelah bekerja. Sebelum
luluspun perusahaan-perusahaan besar berebut merekrut
calon lulusan IIM dan menjanjikan mereka karir bagus
dan gaji amat tinggi.

Tanpa intervensi negara, maka sekolah terbaik pada
awal kemerdekaan didominasi oleh kasta brahmin dan
orang Parsi yang memang pintar. Untung ada kebijakan
semacam affirmative action untuk mengkatrol kasta
bawah dan harijan (sekarang disebut dalit). Khusus
untuk mereka, syarat akademik untuk masuk tidak
berlaku. Tapi IIT dan sekolah dokter tetap berdasar
meritokrasi.

Pemerintah India melalui kedutaan mereka di Jakarta
dan konsulat di Medan kabarnya menawarkan beasiswa
kepada mahasiswa Indonesia untuk meneruskan S-2 dan
S-3. Yang mengambil jurusan teknik dan sains yang
saya kenal cuma Ir. Nyoman Rupiasih, lulusan S-1 (ITS)
dan S-2 (ITB) yang mengambil fisika di Pune.
Selebihnya mengambil jurusan sosial yang bukan
unggulan di India. Rupanya universitas daerah masih
sibuk menyekolahkan dosennya untuk sekedar menggondol
S-2 dan S-3 apapun jurusannya tanpa mengacuhkan
kebutuhan Indonesia sebenarnya. Dari ngobrol-ngobrol
dengan calon S-2 dan S-3 sastra Inggris tahulah saya
bahwa mereka belum pernah membaca A Street Car Named
Desire (Tennessee Wliiams), Animal Farm (George
Orwell), Darkness At Noon (Arthur Koetler) bahkan
tidak tahu bahwa V.S. Naipaul etnis India memenangkan
Hadiah Nobel Sastra tahun 2001 dan belum pernah baca
God of Small Things karya sastrawan muda India yang
mendunia,Arundhati Roy

No comments: